Maluku Utara, Haltim TargetNews.id Desakan keras datang dari berbagai elemen masyarakat adat Kesultanan Tidore agar Kapolda Maluku Utara, Irjen Pol. Drs. Waris Agono, M.Si segera menangkap dan memproses hukum Ahmad Hi. Djaim. Ia diduga sebagai aktor intelektual yang memprovokasi konflik adat dan menyebabkan korban, serta melontarkan pernyataan yang dinilai menghina dan mengancam integritas Kesultanan Tidore, salah satu kesultanan tertua dan paling berpengaruh dalam sejarah bangsa Indonesia.
“Apa yang dilakukan Ahmad Hi. Djaim bukan sekadar penghinaan, ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai adat yang kami junjung tinggi. Kami meminta Kapolda segera menangkap dan memproses hukum yang bersangkutan,” tegas Taskin Dano, utusan resmi dari Kesultanan Tidore.
Insiden bermula pada Senin, 21 April 2025 sekitar pukul 13.00 WIT di lokasi tambang PT STS, Kecamatan Maba Tengah, Halmahera Timur. Ahmad Hi. Djaim bersama Rifai Husain diduga memimpin aksi demonstrasi terkait klaim lahan yang menurut pihak perusahaan telah selesai diselesaikan secara prosedural.
Parahnya, Ahmad Hi. Djaim mengklaim dirinya sebagai Kimalaha Wayamli, sebuah gelar adat dalam struktur Kesultanan Tidore, tanpa restu atau pengakuan dari Kesultanan. “Ia mengaku Kimalaha, padahal tidak pernah diangkat secara sah. Ini pelanggaran berat dalam hukum adat,” tambah Taskin.
Tindakan Ahmad Hi. Djaim dianggap sebagai penyimpangan adat dan provokasi terstruktur karena menolak kehadiran utusan Kesultanan dan Sangaji Maba yang datang untuk menyelesaikan masalah secara adat. Bahkan, dalam aksinya, ia memprovokasi masyarakat untuk menghina serta menolak otoritas adat Kesultanan Tidore.
Berfoto bersama untuk memprovokasi publik terkait rencana aksi Ahmad Hi. Djaim dan Rifai Husain.
“Ini adalah bentuk makar terhadap adat,” ujar seorang tokoh adat yang enggan disebutkan namanya. “Sudah seharusnya yang bersangkutan dikenakan sanksi berat baik secara hukum negara maupun hukum adat.”
Praktisi Hukum Mohtar Basrah, SH : Landasan Hukum dan Sanksi
Diungkapkan secara hukum positif, tindakan Ahmad Hi. Djaim dapat dijerat dengan:
Pasal 156 KUHP tentang ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu, termasuk kelompok adat, dengan ancaman pidana 4 tahun penjara.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE No. 19 Tahun 2016, jika ditemukan penyebaran ujaran kebencian berbasis SARA di media sosial, dengan ancaman pidana 6 tahun dan/atau denda hingga Rp1 miliar.
Pasal 107 KUHP tentang makar, apabila terbukti ada upaya pemecahbelahan dan perencanaan konflik terhadap otoritas yang sah.
Dari aspek adat, menurut Tata Lembaga Adat Kesultanan Tidore, tindakan mengklaim gelar adat tanpa pengangkatan resmi dan memprovokasi masyarakat dapat dikenai sanksi adat berat, termasuk:
Pelarangan mengikuti seluruh kegiatan adat,
Pencabutan hak adat, dan
Pengasingan adat.
Rekayasa Aksi dan Penyebaran Hoaks
Investigasi wartawan menemukan bahwa aksi yang dilakukan adalah hasil rekayasa. Video yang beredar memperlihatkan adanya peserta aksi yang berpura-pura pingsan, disertai narasi palsu bahwa mereka dipukul aparat.
Surat edaran dan flayer digital provokatif telah disebar melalui WhatsApp dan media sosial jauh sebelum aksi, yang memperkuat dugaan bahwa aksi ini memang telah dirancang untuk memancing kekacauan dan reaksi keras dari aparat maupun pihak adat.
“Ada skenario besar di balik ini. Tujuannya jelas: menciptakan konflik antara masyarakat adat dan merusak citra Kesultanan Tidore demi kepentingan kelompok tertentu,” ujar sumber investigasi.