Jeneponto, Krisis batubara yang melanda Indonesia berdampak buruk pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeneponto, Sulawesi Selatan. PT Bosowa Energi, pengelola PLTU tersebut, telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Ratusan karyawan,yang Mayoritas putra daerah, akibat penghentian operasional Unit 1 dan 2. Langkah efisiensi ini, menurut manajemen, terpaksa dilakukan karena krisis pasokan batubara.
Sebanyak 185 pekerja menerima surat Pemutusan Hubungan Kerja pada 16 Juni 2025 dan berhenti bekerja sejak 1 Juli 2025.
Namun, PHK massal ini memicu protes keras dari serikat pekerja dan berbagai elemen masyarakat. Ketua Serikat Buruh Jeneponto, Darwis Damiri, “menyoroti jumlah pesangon yang dinilai jauh di bawah ketentuan Undang-Undang Cipta Kerja 2023”.
PT Bosowa Energi diduga hanya membayar setengah dari jumlah yang seharusnya diterima para pekerja, sebuah pelanggaran yang jelas terhadap hak-hak pekerja.
Permasalahan semakin kompleks karena sebagian besar pekerja yang di-PHK bukanlah karyawan langsung PLTU, melainkan pekerja melalui vendor seperti GKC dan MAT. Hal ini menimbulkan kebingungan terkait tanggung jawab perusahaan dalam pembayaran pesangon.
Lebih memprihatinkan lagi, banyak pekerja yang mengaku tidak pernah menerima kontrak kerja atau slip gaji resmi, melanggar Pasal 54 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dan Permenaker No. 20/2016.
Asosiasi Masyarakat Buruh Amatir (AMUBA) mendesak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jeneponto dan DPRD Jeneponto untuk segera melakukan investigasi dan menuntut perlindungan hak-hak pekerja yang dirugikan.
Upaya konfirmasi kepada pihak PLTU dan vendor terkait hingga saat ini belum membuahkan hasil. Pihak manajemen disebut “sibuk” dan menolak memberikan keterangan. Kasus ini menjadi sorotan dan mempertanyakan penegakan hukum di sektor ketenagakerjaan di Indonesia. (Red)