Sumenep, TargetNews.id – Penanganan kasus dugaan pembangunan ilegal Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) di wilayah Kalianget, Sumenep, memasuki babak baru yang justru memperkuat dugaan publik bahwa ada upaya sistematis untuk mengaburkan dan memperlambat proses hukum.
Kasus yang dilaporkan oleh Sarkawi, Ketua Brigade 571 TMP sekaligus Ketua Pokmaswas Kelautan dan Perikanan Kecamatan Kalianget, sejak 18 Juni 2021 ini, hingga pertengahan 2025 belum juga menghasilkan penetapan tersangka, meskipun penyidik menyatakan telah menemukan unsur pidana melalui gelar perkara pada 14 November 2024.
“Sudah jelas ada pelanggaran, sudah dinyatakan naik ke penyidikan, tapi tidak ada langkah tegas. Justru yang terjadi berlarut-larut tanpa hasil. Ini mengundang kecurigaan publik,” tegas Sarkawi.
Penyidik sempat memanggil beberapa pihak yang diduga terlibat atau mengetahui pembangunan pelabuhan ilegal tersebut, seperti RB. Nur Ilham, Hj. Sri Sumarlina Ningsih, Sunaryo, dan Sugianto (anak dari almarhum Dulgani). Namun pemanggilan tersebut diabaikan. Dua kali surat panggilan terhadap Sunaryo dan istrinya, Sumiyati, pada Januari dan April 2025, tidak dihadiri tanpa alasan yang sah.
Ironisnya, tidak ada langkah pemanggilan paksa. Padahal, sesuai SOP Polri, mangkir dua kali dari panggilan penyidik merupakan dasar kuat untuk tindakan pemanggilan paksa.
“Kalau rakyat kecil, dua kali dipanggil saja bisa langsung dibawa paksa. Tapi kenapa ini seolah-olah dibiarkan? Jangan-jangan ada kekuatan yang sedang main di balik kasus ini,” tambah Sarkawi.
Dalam SP2HP ke-17 yang diterbitkan 12 April 2025, penyidik malah menyebut akan memeriksa ahli dari BPN, DPMPTSP, dan mengirim surat ke Dirjen Perhubungan Laut serta Dinas Kelautan Provinsi. Namun tak satu pun dari langkah ini menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap para pelanggar benar-benar dijalankan dengan serius.
Sarkawi menilai upaya tersebut sebagai taktik untuk “mendinginkan” kasus dan mengulur waktu. Sementara itu, pelabuhan-pelabuhan TUKS ilegal diduga terus beroperasi tanpa menyentuh ranah hukum, bahkan menimbulkan kerugian ekologis akibat reklamasi liar yang tidak sesuai peruntukan.
Dugaan ini diperkuat oleh fakta bahwa salah satu pemilik TUKS, Hj. Sri Sumarlina Ningsih melalui PT Asia Madura, disebut hanya memiliki izin bongkar muat garam. Namun bangunan pelabuhan justru berdiri di atas wilayah pantai bawah laut seluas hampir 14 ribu meter persegi, yang menurut Sarkawi, memerlukan izin reklamasi—bukan sekadar izin usaha biasa.
“Kalau izinnya dikeluarkan untuk tanah negara, tapi faktanya bangunan berdiri di atas laut, ini bisa jadi bentuk manipulasi administrasi. Mengapa DPMPTSP mengeluarkan izin di atas mija, bukan berdasarkan realitas lokasi? Ini harus dibongkar!” tegas Sarkawi.
Tak hanya itu, Sarkawi juga mengungkap bahwa penyidik pernah menyambangi Dinas Kelautan dan KSOP Kalianget sebelum gelar perkara, dan bahkan sudah memeriksa Kepala KSOP. Namun hasilnya tidak pernah terbuka ke publik.
Dengan segala kejanggalan ini, publik berhak menduga bahwa ada upaya untuk “mengunci” kasus agar tidak sampai ke meja hijau. Penegakan hukum yang tebang pilih dan tidak transparan hanya akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.
“Sudah lima tahun laporan ini mengendap. Kalau penyidik polres Sumenep tidak mampu bertindak tegas, kami selaku Pelapor akan mengirim surat kepada bapak kapolri tembusan bapak Kapolda dan propam Polda /Irwasda Jawa Timur, bapak Kapolres Sumenep dan propam sekalian ke ombudsman RI dan Jawa Timur, dan Yudisial Pusat maupun Jawatimur, siap buka semua data dan mendorong pembentukan Tim Khusus Independen untuk mengusut ini sampai ke akarnya,” pungkas Sarkawi.(Red)