TARGETNEWS.ID Hari kelam bagi nasib kaum buruh Indonesia ketika Ketua DPR RI Puan Maharani mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Pengesahan tersebut dilakukan melalui Sidang Paripurna ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023, tepatnya hari Selasa, (21/3/2023) dan kini telah menjadi UU No. 6 Tahun 2023, itu merupakan kado pahit bagi kaum buruh Indonesia dari presiden dan DPR di penghujung jabatan dan kepemimpinannya.
Harapan hanya tinggal harapan, kaum buruh bagai anak ayam kehilangan induknya, tak ada lagi tempat mengadu nasib, wakil mereka di DPR pun justru terlibat didalamnya, dengan pengesahan Perpu Cipta Kerja oleh DPR diduga merupakan persekongkolan jahat oligarki dan penghianatan kepada rakyat dan konstitusi.
Penomena ini telah membangun sistem perekonomian feodalistik kapitalis, dimana UU Cipta Kerja ini diduga akan menjadi predator terhadap kelayakan nasib hidup kaum buruh dimasa yang akan datang.
Penulis mengingatkan kembali masalah Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang sering disebut UU Omnibus Law, dimana setelah melalui proses hukum UU Omnibus Law ini diajukan untuk diuji aspek formil maupun aspek materiil maka Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa UU Omnibus Law dinilai cacat formil dan inkonstitusional secara bersyarat. Maka MK memerintahkan kepada para pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan tersebut diucapkan oleh MK. Jika dalam tenggang waktu itu para pembentuk UU tidak melakukan perbaikan, maka UU Omnibus Law menjadi inkonstitusional secara permanen.
Tetapi setelah sekian waktu berjalan, pemerintah tidak melakukan perbaikan atas UU tersebut, tetapi tiba-tiba menerbitkan Perpu Cipta Kerja, saat itu langsung disambut penolakan gelombang aksi demo kaum butuh, mahasiswa, dan elemen-elemen yang lainnya turut turun aksi demo besar-besaran.
Saat itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan alasan diterbitkannya Perpu Cipta Kerja untuk menjadi Undang-undang. Menurutnya yang menjadi pertimbangan adalah kebutuhan mendesak menyikapi tekanan ekonomi global, sebagai pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik terkait ekonomi global. Kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi. Alasan itu senada dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Penulis tidak akan mengomentari banyak atas pernyataan kedua menteri tersebut, walau sebenarnya kondisi Indonesia tidak tepat untuk dikatakan dalam kondisi genting seperti itu dan pemerintah pun seharusnya bisa melaksanakan amanat Keputusan MK karena ada ruang waktu 2 (dua) tahun untuk memperbaikinya, maka pernyataan kedua menteri itu sangat tidak masuk akal. Walaupun memang betul bahwa persyaratan dikeluarkannya Perpu oleh Presiden yaitu atas dasar tiga hal; Pertama; Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasar undang-undang, Kedua; Undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau terdapat Undang-undang tapi tak memadai, Ketiga; kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama.
Yang disesalkan penulis ‘Kenapa pemerintah dan DPR tidak mengindahkan permasalahan dari segi formil (Prosedural) dan materiil (Substansial), padahal itu adalah inti dan pokok permasalahan, sehingga Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan MK No. 91/PUU-XIII/2020?’
Dalam penetapan undang-undang ini pemerintah tidak memperhatikan dan tidak mengindahkan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang mengamanatkan pemerintah dalam perancangan dan penyusunan peraturan tersebut agar menghadirkan partisipasi masyarakat, tetapi justru dalam menyusun peraturan ini tidak membuka ruang perihal keikutsertaan masyarakat dan tidak menggunakan azas keterbukaan, sehingga mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan serta pengundangan tidak bersifat transparan dan terbuka serta tergesa-gesa, pemerintah tidak mempunyai inisiatif untuk adanya keterlibatan masyarakat dengan tidak membuka ruang sosialisasi bagi masyarakat.
Disamping kelemahan dari segi formil (prosedural), yang lebih menonjol yaitu dari segi materiil (substansial) dimana banyak muatan pasal yang bermasalah. Pasal-pasal yang mengundang kontroversi mayoritas terletak pada isu ketenagakerjaan dan isu lingkungan yang menuai polemik, antara lain;
Sektor Ketenagakerjaan, ada beberapa poin pada pasal-pasal ketenagakerjaan yang sangat merugikan kaum buruh, diantaranya tentang penetapan upah minimum, tenaga kerja alih daya atau outsourcing, pembayaran pesangon, ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), soal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), keberadaan tenaga kerja asing (TKA), terkait sanksi pidana, jam kerja, cuti Panjang, dan yang lainnya.
Belum lagi dari Sektor Lingkungan, antara lain;
Penghapusan hak masyarakat dalam penyusunan Amdal, kriminalisasi masyarakat penolak tambang, Cakupan luas hutan minimal 30% dihapus, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kesimpulan, sebelum berlanjutnya demo besar-besaran yang berkesinambungan dimasa yang akan datang atas penolakan UU ini, penulis berharap agar segera dilakukan kembali Judicial Review yang meliputi uji formil dan materiil kepada Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-undang ini, sehingga UU Cipta Kerja ini ada perbaikan dan benar-benar bisa menjadi payung hukum bagi semua pihak dan tidak ada yang dirugikan, serta benar-benar untuk kepentingan masyarakat umum, khususnya keberpihakan kepada nasib hidup kaum buruh yang akan datang.
Penulis:
Aceng Syamsul Hadie,S.Sos.,MM.
Pemerhati Medsos, Ketua DPD AWI Prov. Jabar, dan Wakil Sekjen DPP F.KSI-SPSI.