SAMPANG — Baru sepekan lalu, publik dikejutkan oleh potongan video yang viral, seorang pria lanjut usia terbaring lemah di atas perahu nelayan, menggigil dalam perjalanan menembus perairan Selat Madura.
Ia adalah pasien rujukan dari Desa Mandangin, Sampang, Madura, yang terpaksa diangkut menggunakan kapal kayu karena ambulans laut milik Pemerintah Kabupaten Sampang tidak beroperasi. Alasan klasik: tak ada anggaran.
Peristiwa memilukan itu terjadi Kamis, (3/7). Pasien berusia 67 tahun tersebut sebelumnya sempat dirawat di Puskesmas Mandangin. Namun saat membutuhkan rujukan ke rumah sakit di kota, keluarga harus menyewa perahu nelayan karena satu-satunya transportasi medis resmi di laut sedang ‘parkir’.
Biaya operasional tidak tersedia. Ambulans laut, yang seharusnya menjadi urat nadi layanan kegawatdaruratan warga kepulauan, macet di dermaga karena perkara anggaran yang mandek.
Ironisnya, belum tuntas luka atas kelambanan birokrasi itu, masyarakat Mandangin kembali harus menelan pil pahit dari pernyataan kontroversial pejabat kesehatan.
Saat mendampingi kunjungan Menteri Kesehatan di Pendapa Trunojoyo Sampang, Selasa, (8/7) lalu, Plt Kepala Dinas Kesehatan dan Keluarga Berencana Sampang, dr. Dwi Herlinda Lusi Harini, menyebut bahwa Pulau Mandangin pada masa kolonial merupakan tempat ‘pembuangan’ penderita penyakit kulit, termasuk kusta.
Pernyataan ini sontak memicu kegeraman. Abd Rouf, pemuda asal Mandangin dan alumnus Magister Kenotariatan Universitas Narotama, mengkritik keras pernyataan tersebut.
Menurutnya, narasi historis tentang Mandangin tak bisa dicabut dari konteks budaya dan legenda Ragapadmi, seorang perempuan yang terbuang karena penyakit kulit dan konon tinggal di Mandangin, ditemani oleh bangsacara setia.
Namun, kisah itu tak pernah menyebut bahwa warga Mandangin adalah keturunan mereka, apalagi mewarisi stigma penyakit kusta.
“Statemen itu sepihak, tidak berdasarkan pendekatan historis yang utuh dan dapat melukai martabat warga Mandangin,” ujar Abd Rouf, Rabu, (9/7).
Ia khawatir, cap negatif terhadap Mandangin bisa berdampak buruk pada geliat sosial dan ekonomi warga, termasuk pariwisata lokal yang sedang berbenah.
Menurut Rouf, ketimbang mengulang narasi kolonial yang menstigmatisasi, pejabat kesehatan seharusnya lebih sibuk mengurusi keberlanjutan layanan dasar. “Jangan sampai tragedi pasien darurat yang naik perahu nelayan itu kembali terulang. Itu yang harus jadi fokus.”
Saat dikonfirmasi soal pernyataannya, dr. Dwi Herlinda menyatakan enggan terus-menerus memberi klarifikasi.
“Kalau semua berita harus saya klarifikasi, bisa-bisa saya buka posko klarifikasi tiap hari,” ujarnya melalui pesan WhatsApp. Mengutib dari anekafakta
Ia mengaku sudah bekerja maksimal dalam tekanan berat dan berharap media lebih aktif menyuarakan hal-hal positif.
Namun, pertanyaan mendasarnya tetap: apakah membahas akar ketimpangan layanan kesehatan di daerah kepulauan adalah hal negatif? Dan, adakah yang lebih ‘positif’ dari menyelamatkan nyawa warganya?
Dalam iklim pelayanan publik yang ideal, kritik bukanlah beban, melainkan bahan bakar. Warga Mandangin tidak sedang menuntut lebih. Mereka hanya meminta keadilan layanan dasar yang layak. Dan yang paling penting, untuk tidak lagi dijadikan objek dari sejarah yang dibaca sepihak.(Red)