KOTA SEMARANG-GUBERNUR Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranowo, nampaknya kurang setuju dengan kebijakan pemerintah pusat yang akan menghapus tenaga honorer.
Ganjar menggarisbawahi bahwa penghapusan tenaga honorer akan menyulitkan daerah untuk mengisi pos-pos yang kosong, terutama di sektor pendidikan.
Mulai tahun 2023, tenaga honorer tidak akan dipekerjakan lagi.
Usulan pemerintah untuk menghapus tenaga honorer ditanggapi serius oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Ganjar Pranowo menyatakan apa yang akan dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah jika pemerintah pusat benar-benar berniat menghapus tenaga honorer di kantor-kantor pemerintahan.
Setelah penghentian tenaga honorer, ia mengklaim akan sulit bagi daerahnya untuk memenuhi kebutuhan pegawai di sejumlah instansi.
Pada 23 Januari 2023, Ganjar menyampaikan hal tersebut saat peresmian Mal Pelayanan Publik di Kabupaten Batang.
Ganjar sebelumnya sempat menyuarakan pendapatnya terkait pedoman penghapusan tenaga honorer dari Kementerian PANRB.
Dia mengklaim bahwa penghapusan pegawai honorer dari organisasi pemerintah terlalu terburu-buru karena pegawai kontrak sebenarnya dibutuhkan berdasarkan data lapangan yang sebenarnya.
Ganjar mengklaim bahwa pertumbuhan sumber daya manusia yang ada saat ini harus dilakukan setelah penghentian tenaga honorer, yang akan berakibat pada peningkatan beban kerja.
Selain itu, Ganjar mengklaim bahwa peralihan ke teknologi tidak bisa dilakukan secepat membalikkan telapak tangan.
Menurut Ganjar, jika program penghapusan tenaga honorer diberlakukan, pemerintah harus siap dengan sumber daya manusia.
Namun, hal itu tidak bisa dilakukan dengan cepat.
Rencana pemerintah pusat untuk menghapus tenaga honorer tampaknya sangat ditentang oleh Ganjar Pranowo.
Dia mengklaim bahwa akan sulit untuk memenuhi kebutuhan pegawai di berbagai instansi.Dia mengklaim bahwa pendidikan akan menjadi bidang yang paling terdampak jika keputusan ini dilakukan.
Dunia pendidikan selama ini banyak mengandalkan tenaga pendidik honorer.
“Kalau itu dihapus dan tidak boleh, maka kami kekurangan pegawai. Guru saja kami kurang. Kalau itu (honorer) dipangkas, kami ndak ada guru. Lha yang mau ngisi siapa?” katanya.
Menurut Ganjar, sejauh ini negara belum mampu menyediakan tenaga kerja yang cukup.
Untuk menyiasatinya, beberapa pemerintah kota mempekerjakan pegawai honorer untuk memenuhi kebutuhan pegawai.
“Bisa saja solusinya boleh mengangkat honorer, tapi syaratnya daerah yang mengangkat honorer harus membiayai sendiri, tidak membebani pemerintah pusat. Saya kira, itu solusi yang sangat bagus,” usul mantan anggota DPR RI ini.
Ganjar berpendapat bahwa solusi kreatif diperlukan untuk mengisi posisi-posisi ini selama negara belum mampu melakukannya.
“Yang penting kontraknya saja. Sebenarnya ada format Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang bisa ditempuh. Tapi untuk kerja yang sifatnya terbatas, maka tenaga kontrak diperlukan. Untuk menghindari honorer, ya tinggal dikontrakkan saja, jadi ada determinasi waktu untuk mengerjakan itu,” terangnya.
Selanjutnya, menurut Ganjar da beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terganggunya layanan publik.
“Ketika pemerintah belum sanggup memberikan jaminan suplai pegawai, maka tenaga kontrak diperlukan. Tinggal formatnya apa? PPPK, harian lepas (harlep) atau konsep honorer? Kalau honorer sekarang tidak boleh, pakai harlep saja,” pungkas Ganjar.
Namun menurut Tjahjo Kumolo, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), pemerintah daerah tidak lagi diizinkan untuk mempekerjakan tenaga honorer.
Kabarnya masalah pengaturan ini akan selesai dalam satu atau dua tahun ke depan.
“Sehingga ke depan semua tertata rapi untuk membangun sistem tata kelola pemerintahan yang baik. Mereformasi birokrasi memang harus dimulai dari awal,” ujar Tjahjo.
Ia mengaku bahwa pihaknya telah membincangkan apa yang akan terjadi pada tenaga honorer sejak tahun 2018.
Pemerintah berupaya melakukan penyaringan, termasuk dengan melakukan ujian ulang bagi tenaga honorer yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi ASN.
“Yang tidak memenuhi standar, pemerintah tetap berupaya menjadikannya PPPK. Minimal jangan sampai karena faktor usia mereka tidak bisa menjadi ASN kemudian terlantar. Kami akan perhatikan. Kami sudah bertemu dengan berbagai instansi soal ini. Kemendikbud itu yang terbanyak, karena honorer terbesar memang guru, kedua honorer di pegawai kesehatan,” kata Tjahjo.
Demikianlah kejelasan penghapusan tenaga honorer, semoga menemukan jawaban dan titik terang yang baik serta bisa membahagiakan semua pihak.
(Kariyadi/Fajar- Rembang)