Surabaya, TargetNews.id Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) seharusnya menjadi akhir dari sebuah sengketa hukum. Namun dalam perkara sengketa tanah yang dimenangkan Haji Umar hingga tingkat kasasi Mahkamah Agung, putusan itu justru berhenti di meja eksekusi.
Lebih dari satu tahun sejak perintah eksekusi diterbitkan pada 11 Januari 2024, Pengadilan Negeri (PN) Sampang belum juga menjalankan eksekusi atas objek sengketa berupa tiga bidang rumah. Padahal, secara yuridis, tidak ada lagi ruang hukum untuk menunda pelaksanaan putusan.
Kondisi ini memantik kecurigaan publik. Soliditas Pemuda Mahasiswa Merah Putih (SPM-MP) Jawa Timur menilai lambannya eksekusi bukan sekadar persoalan teknis, melainkan indikasi serius lemahnya penegakan hukum dan pengawasan peradilan.
Dalam surat pemberitahuan aksi yang dilayangkan ke Kapolda Jawa Timur, SPM-MP menuntut Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya mengambil alih proses eksekusi.
“Sejak perintah eksekusi dikeluarkan, PN Sampang justru menunda dengan dalih koordinasi keamanan. Alasan ini tidak berdasar hukum karena perkara sudah inkrah,” tegas Koordinator Lapangan SPM-MP Jawa Timur, Herdiansyah.
Mandeknya eksekusi semakin dipertanyakan ketika muncul gugatan perlawanan dari pihak lain yang mengaku sebagai pemilik tanah. Gugatan ini diajukan berbulan-bulan setelah perkara diputus hingga kasasi, sehingga dinilai cacat hukum karena melampaui tenggat waktu yang diatur hukum acara.
“Gugatan perlawanan itu seharusnya ditolak. Tapi justru dijadikan alasan untuk menahan eksekusi. Ini menimbulkan pertanyaan besar,” ujar Herdiansyah.
Sinyal dugaan persoalan administratif juga mengemuka. Klaim kepemilikan ganda atas objek tanah membuka kemungkinan adanya surat tanah ganda, namun hal tersebut tidak menghapus kekuatan putusan Mahkamah Agung yang telah memenangkan Haji Umar.
Herdiansyah, perwakilan pihak yang dimenangkan, menyebut absennya ketegasan pengadilan telah melahirkan ketidakpastian hukum berkepanjangan.
“Putusan sudah final. Semua upaya hukum sudah ditempuh. Tapi pengadilan tidak mengeksekusi. Ini bukan lagi soal menang atau kalah, tapi soal wibawa hukum,” terang Herdiansyah.
Sorotan juga diarahkan ke Pengadilan Tinggi Surabaya. Dalam audiensi yang digelar sebelumnya, perwakilan PT disebut tidak memberikan jawaban substantif terkait fungsi pengawasan terhadap PN Sampang.
“Jawabannya normatif. Hanya janji akan menugaskan hakim pengawas. Itu justru memperkuat dugaan bahwa pengawasan selama ini tidak berjalan,” ujarnya.
SPM-MP menilai keterlambatan eksekusi berpotensi menciptakan preseden berbahaya, putusan inkrah dapat dikalahkan oleh manuver gugatan baru, sekalipun secara prosedural cacat.
“Jika ini dibiarkan, publik wajar curiga. Lembaga peradilan berisiko dipersepsikan sebagai ruang abu-abu yang rawan intervensi dan praktik mafia hukum,” tegas Herdiansyah.
Atas dasar itu, SPM-MP menuntut evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Kepala PN Sampang dan mendesak Kepala PT Surabaya bertanggung jawab atas fungsi pengawasan. Mereka menegaskan, aksi ini adalah bentuk kontrol publik demi memastikan putusan pengadilan benar-benar dijalankan, bukan sekadar arsip hukum.
Sementara menurut Bambang selaku humas Pengadilan Tinggi Menjelaskan , dalam Audensi ini tetap kita kasih jalan , karena ada perlawanan yah perlawanan harus diselesaikan dulu .bagaimana putusannya kalau perlawanannya kalah yah eksekusinya jalan , terkait persidangan di Pengadilan Sampang tidak salah , dan itu benar , setiap Pengadilan itu ada pengawasan hakim tinggi tidak hanya perkara ,keuangan pun harus di periksa ujarnya Bambang selaku humas Pengadilan Tinggi Surabaya. @NUR










